Oleh: Muh. S. Darwis
Khutbah Pertama
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ
وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَسْتَهْدِيْهِ، وَنَعُوذُ بِاللهِ تَعَالَى مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا
وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ
فَلاَ هَادِيَ لَهُ، وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ اللهُ لَهُ نُوْرًا فَمَا لَهُ مِنْ نُوْرٍ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. قَالَ اللهُ تَعَالَى: وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ
تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَةً ضِعَافًا. (النساء: 9).
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ.
وَأَحْيِنَا اَللَّهُمَّ عَلَى سُنَّتِهِ وَأَمِتْنَا عَلَى مِلَّتِهِ. وَبَعْدُ؛
Jamaah jama'ah
rahimakumullah
Anak adalah buah hati bagi kedua orang tuanya yang sangat disayangi dan
dicintainya.
Sewaktu bahtera rumah tangga pertama kali diarungi, maka pikiran pertama yang
terlintas dalam benak suami istri adalah berapa jumlah anaknya kelak akan
mereka miliki serta kearah mana anak tersebut akan dibawa.
Menurut Sunnah melahirkan anak yang banyak justru yang terbaik. Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
تَزَوَّجُوا الْوَلُوْدَ وَالْوَدُوْدَ
فَإِنِّيْ مُكَاثِرٌ بِكُمْ.
Artinya:
“Nikahilah wanita yang penuh dengan kasih sayang dan karena sesungguhnya aku
bangga pada kalian dihari kiamat karena jumlah kalian yang banyak.” (HR. Abu
Daud dan An Nasa’I, kata Al Haitsamin).
Namun yang
menjadi masalah adalah kemana anak akan kita arahkan setelah mereka terlahir.
Umumnya orang tua menginginkan agar kelak anak-anaknya dapat menjadi anak yang
shalih, agar setelah dewasa mereka dapat membalas jasa kedua orang tuanya. Namun
obsesi orang tua kadang tidak sejalan dengan usaha yang dilakukannya. Padahal
usaha merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan bagi terbentuknya
watak dan karakter anak. Obsesi tanpa usaha adalah hayalan semu yang tak akan
mungkin dapat menjadi kenyataan.
Bahkan sebagian
orang tua akibat pandangan yang keliru menginginkan agar kelak anak-anaknya
dapat menjadi bintang film (Artis), bintang iklan, fotomodel dan lain-lain.
Mereka beranggapan dengan itu semua kelak anak-anak mereka dapat hidup makmur
seperti kaum selebritis yang terkenal itu. Padahal dibalik itu semua mereka
kering akan informasi tentang perihal kehidupan kaum selebritis yang mereka
puja-puja. Hal ini terjadi akibat orang tua yang sering mengkonsumsi berbagai
macam acara-acara hiburan diberbagai media cetak dan elektronik, karena itu
opininya terbangun atas apa yang mereka lihat selama ini.
Jamaah jum’at
rahimakumullah
Kehidupan sebagian besar selebritis yang banyak dipuja orang itu tidak lebih
seperti kehidupan binatang yang tak tahu tujuan hidupnya selain hanya makan dan
mengumbar nafsu birahinya. Hura-hura, pergaulan bebas, miras, narkoba dan gaya
hidup yang serba glamour adalah konsumsi sehari-hari mereka. Sangat jarang kita
saksikan di antara mereka ada yang perduli dengan tujuan hakiki mereka
diciptakan oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala , kalaupun ada mereka hanya
menjadikan ritualisme sebagai alat untuk meraih tujuan duniawi, untuk mengecoh
masyarakat tentang keadaan mereka yang sebenarnya. Apakah kita menginginkan
anak-anak kita menjadi orang yang jauh dari agamanya yang kelihatannya bahagia
di dunia namun menderita di akhirat? Tentu tidak. Allah Subhannahu wa Ta'ala
berfirman:
artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya
meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir
terhadap (kesejahteraan)mereka” (An Nisa: 9).
Pengertian lemah
dalam ayat ini adalah lemah iman, lemah fisik, lemah intelektual dan lemah
ekonomi. Oleh karena itu selaku orang tua yang bertanggung jawab terhadap anak-anaknya,
maka mereka harus memperhatikan keempat hal ini. Pengabaian salah satu dari
empat hal ini adalah ketimpangan yang dapat menyebabkan ketidak seimbangan pada
anak.
Imam Ibnu Katsir
dalam mengomentari pengertian lemah pada ayat ini memfokuskan pada masalah
ekonomi. Beliau mengatakan selaku orang tua hendaknya tidak meninggalkan
keadaan anak-anak mereka dalam keadaan miskin . (Tafsir Ibnu Katsir: I, hal
432) Dan terbukti berapa banyak kaum muslimin yang rela meninggalkan aqidahnya
(murtad) di era ini akibat keadaan ekonomi mereka yang dibawah garis
kemiskinan.
Banyak orang tua
yang mementingkan perkembangan anak dari segi intelektual, fisik dan ekonomi
semata dan mengabaikan perkembangan iman. Orang tua terkadang berani melakukan
hal apapun yang penting kebutuhan pendidikan anak-anaknya dapat terpenuhi,
sementara untuk memasukkan anak-anak mereka pada TK-TP Al-Qur’an terasa begitu
enggan. Padahal aspek iman merupakan kebutuhan pokok yang bersifat mendasar
bagi anak.
Ada juga orang tua yang menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan bagi anak-anak
mereka dari keempat masalah pokok di atas, namun usaha yang dilakukannya kearah
tersebut sangat diskriminatif dan tidak seimbang. Sebagai contoh: Ada orang tua
yang dalam usaha mencerdaskan anaknya dari segi intelektual telah melaksanakan
usahanya yang cukup maksimal, segala sarana dan prasarana kearah tercapainya
tujuan tersebut dipenuhinya dengan sungguh-sungguh namun dalam usahanya
memenuhi kebutuhan anak dari hal keimanan, orang tua terlihat setengah hati,
padahal mereka telah memperhatikan anaknya secara bersungguh-sungguh dalam segi
pemenuhan otaknya.
Jamaah jum’at
rahimakumullah.
Karena itu sebagian orang tua yang bijaksana, mesti mampu memperhatikan
langkah-langkah yang harus di tempuh dalam merealisasikan obsesinya dalam
melahirkan anak yang shalih. Di bawah ini akan kami ketengahkan beberapa
langkah yang cukup representatif dan membantu mewujudkan obsesi tersebut:
1. Opini atau
persepsi orang tua atau anak yang shalih tersebut harus benar-benar sesuai
dengan kehendak Islam berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Salam , bersabda:
إِذَا مَاتَ بْنُ آدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ
إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ، صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ
صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ.
Artinya: “Jika
wafat anak cucu Adam, maka terputuslah amalan-amalannya kecuali tiga: Sadaqah
jariah atau ilmu yang bermanfaat atau anak yang shalih yang selalu
mendoakannya.” (HR.Muslim)
Dalam hadits ini
sangat jelas disebutkan ciri anak yang shalih adalah anak yang selalu mendoakan
kedua orang tuanya. Sementara kita telah sama mengetahui bahwa anak yang senang
mendoakan orang tuanya adalah anak sedari kecil telah terbiasa terdidik dalam
melaksanakan kebaikan-kebaikan,melaksanakan perintah-perintah Allah Subhannahu
wa Ta'ala , dan menjauhi larangan-laranganNya. Anak yang shalih adalah anak
yang tumbuh dalam naungan DienNya, maka mustahil ada anak dapat bisa mendoakan
orang tuanya jika anak tersebut jauh dari perintah-perintah Allah Subhannahu wa
Ta'ala dan senang bermaksiat kepadaNya. Anak yang senang bermaksiat kepada
Allah Subhannahu wa Ta'ala , jelas akan jauh dari perintah Allah dan
kemungkinan besar senang pula bermaksiat kepada kedua orang tuanya sekaligus.
Dalam hadits ini
dijelaskan tentang keuntungan memiliki anak yang shalih yaitu, amalan-amalan
mereka senantiasa berkorelasi dengan kedua orang tuanya walaupun sang orang tua
telah wafat. Jika sang anak melakukan kebaikan atau mendoakan orang tuanya maka
amal dari kebaikannya juga merupakan amal orang tuanya dan doanya akan segera
terkabul oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala .
Jadi jelaslah bagi kita akan gambaran anak yang shalih yaitu anak yang taat
kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala , menjauhi larangan-laranganNya, selalu
mendoakan orang tuanya dan selalu melaksanakan kebaikan-kebaikan.
2. Menciptakan
lingkungan yang kondusif ke arah tercipta-nya anak yang shalih.
Lingkungan merupakan tempat di mana manusia melaksana-kan
aktifitas-aktifitasnya. Secara mikro lingkungan dapat dibagi dalam tiga bagian,
yaitu:
a. Lingkungan
keluarga
Keluarga merupakan sebuah institusi kecil dimana anak mengawali masa-masa
pertumbuhannya. Keluarga juga merupakan madrasah bagi sang anak. Pendidikan
yang didapatkan merupakan pondasi baginya dalam pembangunan watak, kepribadian
dan karakternya.
Jama'ah jum’at
rahimakumullah
Jika anak dalam keluarga senantiasa terdidik dalam warna keIslaman, maka
kepribadiannya akan terbentuk dengan warna keIslaman tersebut. Namun sebaliknya
jika anak tumbuh dalam suasana yang jauh dari nilai-nilai keIslaman, maka jelas
kelak dia akan tumbuh menjadi anak yang tidak bermoral.
Seorang anak yang terlahir dalam keadaan fitrah, kemudian orang tuanyalah yang
mewarnainya, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ،
فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ. (رواه البخاري).
Artinya: “Setiap
anak dilahirkan dalam keadaan yang fitrah (Islam), maka orang tuanya yang
menyebabkan dia menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari)
Untuk itu orang tua harus dapat memanfaatkan saat-saat awal dimana anak kita
mengalami pertumbuhannya dengan cara menanamkan dalam jiwa anak kita kecintaan
terhadap diennya, cinta terhadap ajaran Allah Subhannahu wa Ta'ala dan RasulNya
Shallallaahu alaihi wa Salam, sehingga ketika anak tersebut berhadapan dengan
lingkungan lain anak tersebut memiliki daya resistensi yang dapat menangkal
setiap saat pengaruh negatif yang akan merusak dirinya.
Agar dapat
memudahkan jalan bagi pembentukan kepribadian bagi anak yang shalih, maka
keteladanan orang tua merupakan faktor yang sangat menentukan. Oleh karena itu,
selaku orang tua yang bijaksana dalam berinteraksi dengan anak pasti
memperlihatkan sikap yang baik, yaitu sikap yang sesuai dengan kepribadian yang
shalih sehingga anak dapat dengan mudah meniru dan mempraktekkan sifat-sifat
orang tuanya
b. Lingkungan
Sekolah
Sekolah merupakan lingkungan di mana anak-anak berkumpul bersama teman-temannya
yang sebaya dengannya. Belajar, bermain dan bercanda adalah kegiatan rutin
mereka di sekolah. Sekolah juga merupakan sarana yang cukup efektif dalam
membentuk watak dan karakter anak. Di sekolah anak-anak akan saling
mempengaruhi sesuai dengan watak dan karakter yang diperolehnya dalam keluarga
mereka masing-masing. Anak yang terdidik secara baik di rumah tentu akan
memberi pengaruh yang positif terhadap teman-temanya. Sebaliknya anak yang di
rumahnya kurang mendapat pendidikan yang baik tentu akan memberi pengaruh yang
negatif menurut karakter dan watak sang anak.
Faktor yang juga
cukup menentukan dalam membentuk watak dan karakter anak di sekolah adalah
konsep yang diterapkan sekolah tersebut dalam mendidik dan mengarahkan setiap
anak didik.
Sekolah yang
ditata dengan managemen yang baik tentu akan lebih mampu memberikan hasil yang
memuaskan dibandingkan dengan sekolah yang tidak memperhatikan sistem
managemen. Sekolah yang sekedar dibangun untuk kepentingan bisnis semata pasti
tidak akan mampu menghasilkan murid-murid yang berkwalitas secara maksimal,
kualitas dalam pengertian intelektual dan moral keagamaan.
Kualitas
intelektual dan moral keagamaan tenaga pengajar serta kurikulum yang dipakai di
sekolah termasuk faktor yang sangat menentukan dalam melahirkan murid yang
berkualitas secara intelektual dan moral keagamaan.
Oleh sebab itu
orang tua seharusnya mampu melihat secara cermat dan jeli sekolah yang pantas
bagi anak-anak mereka. Orang tua tidak harus memasukkan anak mereka di
sekolah-sekolah favorit semata dalam hal intelektual dan mengabaikan faktor
perkembangan akhlaq bagi sang anak, karena sekolah tersebut akan memberi warna
baru bagi setiap anak didiknya.
Keseimbangan pelajaran yang diperoleh murid di sekolah akan lebih mampu
menyeimbangkan keadaan mental dan intelektualnya. Karena itu sekolah yang
memiliki keseimbangan kurikulum antara pelajaran umum dan agama akan lebih
mampu memberi jaminan bagi seorang anak didik.
c. Lingkungan
Masyarakat
Masyarakat adalah komunitas yang terbesar dibandingkan dengan lingkungan yang
kita sebutkan sebelumnya. Karena itu pengaruh yang ditimbulkannya dalam merubah
watak dan karakter anak jauh lebih besar.
Masyarakat yang mayoritas anggotanya hidup dalam kemaksiatan akan sangat
mempengaruhi perubahan watak anak kearah yang negatif. Dalam masyarakat seperti
ini akan tumbuh berbagai masalah yang merusak ketenangan, kedamaian, dan
ketentraman.
Anak yang telah di didik secara baik oleh orang tuanya untuk selalu taat dan
patuh pada perintah Allah Subhannahu wa Ta'ala dan RasulNya, dapat saja
tercemari oleh limbah kemaksiatan yang merajalela disekitarnya. Oleh karena itu
untuk dapat mempertahankan kwalitas yang telah terdidik secara baik dalam
institusi keluarga dan sekolah, maka kita perlu bersama-sama menciptakan
lingkungan masyarakat yang baik, yang kondusif bagi anak.
Masyarakat
terbentuk atas dasar gabungan individu-individu yang hidup pada suatu komunitas
tertentu. Karena dalam membentuk masyarakat yang harmonis setiap individu
memiliki peran dan tanggung jawab yang sama. Persepsi yang keliru biasanya
masih mendominasi masyarakat. Mereka beranggapan bahwa yang bertanggung jawab
dalam masalah ini adalah pemerintah, para da’i, pendidik atau ulama. Padahal
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam , bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ
بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ
وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ. (رواه مسلم).
Artinya:
“Barangsiapa di antaramu melihat kemungkaran hendaklah ia merubahnya dengan
tangannya, jika ia tidak sanggup maka dengan lidahnya, dan jika tidak sanggup
maka dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)
Jika setiap
orang merasa tidak memiliki tanggung jawab dalam hal beramar ma’ruf nahi
munkar, maka segala kemunkaran bermunculan dan merajalela di tengah masyarakat
kita dan lambat atau cepat pasti akan menimpa putra dan putri kita. Padahal
kedudukan kita sebagai umat yang terbaik yang dapat memberikan ketentraman bagi
masyarakat kita hanya dapat tercapai jika setiap individu muslim secara
konsisten menjalankan amar ma’ruf nahi munkar, karena Allah Subhannahu wa
Ta'ala berfirman:
Artinya: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah...”
(Ali Imran: 110).
Jamaah jum’at
rahimakumullah
Amar ma’ruf adalah kewajiban setiap individu masing-masing yang harus
dilaksanakan. Jika tidak maka Allah Subhannahu wa Ta'ala , pasti akan
menimpakan adzabnya di tengah-tengah kita dan pasti kita akan tergolong
orang-orang yang rugi Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah
orang-orang yang beruntung.” (Ali-Imran: 104).
Untuk itu di
akhir khutbah ini marilah kita bersama-sama merasa peduli terhadap kelangsungan
hidup generasi kita, semoga dengan kepedulian kita itulah Allah Subhannahu wa
Ta'ala akan senantiasa menurunkan pertolonganNya kepada kita dan memenangkan
Islam di atas agama-agama lainnya. Marilah kita berdo’a kepada Allah Subhannahu
wa Ta'ala .
رَبِّ اجْعَلْنِيْ مُقِيْمَ الصَّلاَةِ
وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْ، رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءَ. رَبَّنَا اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ
وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ يَوْمَ يَقُوْمُ الْحِسَابُ.
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا
لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا.
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ. فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ
هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ، وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ.
Khutbah kedua.
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ
وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا،
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ
أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ.
أَمَّا بَعْدُ؛
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ
ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ
وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ،
إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا
بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ مِنَ الْخَيْرِ
كُلِّهِ مَا عَلِمْنَا مِنْهُ وَمَا لَمْ نَعْلَمْ. اَللَّهُمَ أَصْلِحْ أَحْوَالَ
الْمُسْلِمِيْنَ وَأَرْخِصْ أَسْعَارَهُمْ وَآمِنْهُمْ فِيْ أَوْطَانِهِمْ. رَبَّنَا
آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي
الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ
يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.